Pada level tertentu, kebahagiaan
itu bukan dipengaruhi oleh lingkungan sekitar (eksternal), tapi kita yang memutuskan
dan mengkonstruknya secara internal. Istilah lainnya kebahagiaan itu dari
“dalam” bukan dari “luar”. Sebab jika tidak maka kita akan di ombang-ambing
oleh keadaan atau kondisi di luar pada diri kita. Ketergantungan pada faktor eksternal
akan mengakibatkan kita mudah mengalami frustasi (stres), sehingga berdampak
pula pada kesehatan mental maupun fisik kita.
Okelah, saya menyadari tahapan ‘tuk
menuju ke sana memang butuh proses. Proses dimana persepsi kita tentang kebahagiaan
itu bertahap; dimulai dari pendekatan materialism (kebendaan) sampai kepada
internalisasi diri. Sadar atau tidak hampir semua individu melalui tahapan ini.
Lama atau tidaknya individu berada pada tahap tertentu sangat relatif, bisa jadi
dipengaruhi faktor usia maupun “kedewasaan” seseorang.
“Galau ini akan indah pada
waktunya; Sesudah ada lara pasti ada kebahagiaan; sesudah bersusah-susah, senang
kan menghampiri”, istilah yang mungkin tak asing di telinga kita. Ini menyiratkan
bahwa duka dan bahagia sangat tipis jaraknya. Saya jadi teringat ungkapan guru
saya tentang surah Al-Insyirah ayat 5 dan 6 “….setelah kesulitan itu, ada
kemudahan”. Ia kurang lebih mengungkapkan bahwa pada kalimat tersebut, kata ‘kesulitan’
dan ‘kemudahan’ tidak terpisah, dalam arti tidak ada embel-embel kalimat
diantaranya. Bahkan kedua kata itu tidak memiliki tanda baca ‘koma’ atau ‘titik’
sebagai pemisahnya. Dikarenakan keduanya merupakan satu paket, dalam proses
dinamika hidup. jadi “setelah kesulitan_kemudahan”.
Motivasi menulis notes ini karena
saya jengah mendengar dan melihat beberapa kisah orang disekitar saya, yang
sampai harus berlarut-larut menangisi kenangannya, bahkan sampai kepada tingkat
“tersandera” oleh kenangan. Anda sangat berarti sebagai individu. Lantas kenapa
mesti anda membuang-buang waktu “menyakiti” diri anda sendiri. Kebahagiaan itu potensi
yang dianugerahkan Tuhan pada kita sehingga kita berhak akan hal itu. Disinilah
fungsinya akal kita sebagai piranti yang dititipkan Tuhan ‘tuk merencanakan dan
mengatur jalan hidup kita. Namun semua terpulang pada diri kita masing-masing,
mau diarahkan kemana kondisi mental kita. Akhir kata, jika digradasikan, mungkin
kesedihan itu adalah kebahagiaan yang paling rendah levelnya, hehehe…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar pada kolom yang tersedia.
terima kasih.
salam... ^_^