Problematika Remaja; Tanggung Jawab Siapa?

Remaja pesta miras
Ponsel berdering tanda sms berbunyi, terpampang jelas dalam display: “aswbr. Kak, bisa minta tolong?”. Sejenak aku menghela nafas lalu ingatanku kembali pada 4 tahun silam. Seorang perempuan muda yang memutuskan kuliahnya sementara dan terbuang dari keluarga karena MBA (married by accident). Berangkat dari peristiwa itu, ujian hidup baru dimulai. Mulai dari keterbatasan ekonomi sampai perasaan bersalah dan terbuang dari keluarga. Sungguh miris melihat kondisi itu. "Sekali lagi sejarah kembali terulang, hanya waktu dan pelakonnya yang berbeda", gumamku dalam hati.

Sebut sajalah ia AW. Seorang dara yang dilahirkan dari keluarga lumayan berkecukupan, ayahnya seorang PNS kesehatan, background keluarganya yang lain aku tak tahu, karena memang hanya sekali aku pernah berkunjung kerumahnya. Ia berasal dari sebuah kota kecil bagian selatan Makassar. Pasca pernikahan yang tidak terencana itu, berbagai persoalan hidup menimpa dirinya dan juga ikut berakibat kepada buah hatinya. Satu persatu terkuak kepermukaan bahwa suaminya memang seorang “penjahat kelamin”. Kejadian itu pernah berlangsung beberapa tahun yang lalu dengan korban seorang perempuan yang berada di seberang pulau, tapi entahlah nasibnya saya tak tahu selanjutnya, apakah digugurkan atau ia ditinggalkan begitu saja. Yang jelas, menurut pengakuan AW, suaminya masih doyan menggoda wanita-wanita yang ada disekitar kampungnya. 

Selama dalam proses mengandung dan melahirkan, AW tinggal di rumah mertuanya yang cukup jauh dari kota Makassar. Butuh sekitar 9-10 jam perjalanan untuk tiba dikota itu dengan mengendarai sebuah bus. Selama dalam proses "pelarian" hanya sesekali ayahnya mengontak. Ia terlarang untuk pulang karena keluarganya menganggap peristiwa itu suatu aib yang oleh masyarakat di sekitar rumahnya tidak boleh tahu. Mau tak mau selama dalam proses pelarian itu, hidupnya ditanggung oleh mertua, karena sang suami tak punya pekerjaan lain selain berkebun dan nyambi jadi tukang batu. Ia memang alumni mahasiswa di kampus yang sama dengan AW, tapi sampai sekarang ia tak mempunyai pekerjaan yang tetap untuk menghidupi keluarganya. Di tambah lagi dalam berumah tangga di samping hidup bersama mertua laki-perempuan, ia pun harus bersama dengan saudara suaminya yang sudah berkeluarga pula. Bisa dibayangkan potensi “pergesekan” setiap saat bisa saja terjadi.

Singkat cerita, pasca melahirkan ia pun bertekad melanjutkan kuliahnya yang hanya tersisa beberapa semester sampai benar-benar ia meraih gelar sarjana. Namun masalah tak sampai hanya disitu, keluarga di kampung masih tak membiarkan ia kembali, walau sebenarnya kedua orang tua dan saudara-saudara turut merindukannya. Ia pun pasrah, dengan segenap tenaga tersisa ia tetap melanjutkan kuliah walau harus bermain “kucing-kucingan”, khawatir ada sanak famili ataupun tetangga dari kampung memergoki keberadaannya. Ia mesti numpang kesana-kemari hanya untuk menghindari itu. 

Sekelumit kisah teman saya di atas memberi gambaran pada kita bersama, betapa pre marital pregnancy (kehamilan di luar nikah) banyak mendatangkan masalah bagi pelaku, baik itu secara psikologis maupun sosiologis. Secara psikologis, pelaku jiwanya tertekan karena perasaan bersalah yang berkepanjangan baik kepada keluarga maupun norma agama. Sedangkan dari aspek sosiologis, pandangan “miring” dari masyarakat cukup membatasi ruang gerak bersosialisasi pelaku karena perasaan malu, tekanan ini makin hebat jika terjadi dikalangan masyarakat yang masih menjunjung tinggi norma susila. Di sisi lain impian masa depan pelaku jadi berantakan karena accident tersebut.

Dengan jumlah penduduk Indonesia 2010 yang mencapai 237,6 juta jiwa yang 26,67 persen diantaranya adalah remaja, tak dapat dipungkiri remaja kita memang rentan menghadapi berbagai macam problematika seperti masalah kesehatan reproduksi yaitu perilaku seksual pranikah, Napza dan HIV/AIDS1. Data statistik menunjukkan dalam lima tahun terakhir, jumlah remaja usia 15-19 tahun yang melahirkan melonjak 37 persen. Tak hanya membuat upaya pengendalian penduduk makin sulit, hal ini juga membuat remaja putri kehilangan kesempatan untuk tumbuh kembang dengan baik2. Berdasarkan data SKRRI (Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia) 2002-2003 didapatkan bahwa remaja mengatakan mempunyai teman yang pernah berhubungan seksual pada usia 14-19 tahun (perempuan 34,7%, laki-laki 30,9%) dan usia 20-24 tahun (perempuan 48,6%,laki-laki 46,5%)3. Begitupula survei yang dilakukan oleh Komnas Perlindungan Anak di 33 provinsi pada Januari s/d Juni 2008 menyimpulkan bahwa; (1) 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno; (2) 93,7% remaja SMP dan SMA pernah berciuman, genital stimulation, oral seks; (3) 62,7% remaja SMP tidak perawan; (4) 21,2% remaja mengaku pernah aborsi4. Faktor yang paling mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual (3x lebih besar) adalah (1) teman sebaya/pacar; (2) mempunyai teman yang setuju dengan hubungan seks pra nikah; (3) mempunyai teman yang mempengaruhi untuk melakukan seks pra nikah (Analisa Lanjut SKRRI, 2003)5.

Melihat data tersebut memang cukup memprihatinkan, kalangan remaja kita dewasa ini sudah sedemikian jauh pola interaksinya. Lantas pertanyaannya kemudian, tanggung jawab siapa sehingga fenomena ini bisa terjadi? upaya preventif apa yang bisa dilakukan?

Pemerintah melalui BKKBN memang sudah membuat sebuah program untuk mengantisipasi problem remaja terkait pre marital preganancy dan pernikahan dini diantaranya program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja (PKBR). Dalam prakteknya di sekolah bersama-sama dengan pihak sekolah didirikan Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R). PKBR dengan program PIKR-nya sekarang ini diharapkan mampu memfasilitasi terwujudnya “Tegar Remaja” yakni remaja yang tidak saja berperilaku sehat dan terhindar dari risiko Triad KRR (Seksualitas, Napza dan HIV/AIDS) tetapi juga remaja yang mau menunda usia perkawinannya hingga mencapai kedewasaan penuh. Selain itu, bercita-cita mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (KKBS), serta mampu menjadi contoh, model, idola, dan sumber informasi bagi teman sebayanya6.

BKKBN juga terus melakukan edukasi terhadap pelajar dan remaja. Melalui berbagai kegiatan remaja, sudah dilakukan edukasi sekaligus sosialisasi soal pentingnya ber-KB dalam membentuk keluarga. Misalnya, saja, BKKBN di berbagai daerah telah menggelar lomba poster untuk kalangan pelajar di tingkat SMP dan SMA. Program lain yang sudah dilaksanakan adalah seni tari, teater, musik, dan lomba poster. Program ini BKKBN namakan Program “GenRe” (Generasi Berencana)7. Tidak hanya sampai di situ, agar lebih tersosialisasi secara massif, BKKBN merilis beberapa iklan layanan masyarakat versi “Genre” yang ditayangkan di beberapa TV Swasta Nasional8.

Kita patut mengapresiasi upaya pemerintah tersebut, namun di sisi lain sering kita mendapatkan bahwa program yang dilaksanakan pemerintah hanya bersifat insidentil, seremonial belaka, kalau tak mau dikatakan sekedar memenuhi kewajiban tanpa mengena substansi persoalan. Tanpa ada upaya preventif, pengawasan dan program berkelanjutan secara terus menerus, saya pikir program ini tidak akan berjalan maksimal. Belum lagi persoalan bagi remaja kita yang sudah terjerumus ke dalam perilaku tersebut, apakah ada upaya yang serius untuk merehabilitasinya? Baru-baru ini, salah satu stasiun TV swasta nasional mewartakan bahwa pelajar yang hamil dan melakukan pernikahan dini dilarang ikut Ujian Nasional (UN)9. Sungguh miris, mereka yang sudah terpuruk seperti itu, dihukum lagi larangan ikut ujian nasional. Padahal hak memperoleh pendidikan itu merupakan amanah konstitusi kita, belum lagi dari aspek hak azasi manusia, memperoleh pendidikan itu hak azasi bagi setiap warga negara. Sebagaimana yang diungkap dr. S10 bahwa “fenomena hamil dan pernikahan dini pada kalangan pelajar yang membuat mereka dilarang mengikuti UN adalah bentuk mengorbankan mereka dua kali. Padahal logikanya, pendidikan kesehatan reproduksi tidak cukup, pelajar membuat kesalahan, pihak sekolah dan diknas sudah tidak menyediakan program yang cukup, begitu terjadi kesalahan menghukumnya keras sekali. Itu harus kita lawan selaku orang Kesehatan Masyarakat sebenarnya. Terjadi di satu sisi pengabaian, begitu terjadi masalah bukannya kita memberikan dukungan, kita malah menghukum dan mengukumnya tidak kira-kira, merampas hak orang untuk bersekolah, ini melanggar Undang-Undang Dasar kita”.

Pada dimensi lain, peran orang tua sangat krusial meminimalisir problematika remaja kita. Bahkan jauh berabad-abad sebelumnya Alqur’an sudah memperingatkan kewajiban orang tua ini bahwa “hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...”11. Pesan Alqur'an ini menyiratkan bahwa sebagai orang tua, selain menjaga diri dari segala bentuk perintah dan larangan Tuhan, orang tua pun turut bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan anak-anak mereka. Bukan hanya dari segi materi, tapi lebih dari itu, menjadi motivator buat mereka, menanamkan pendidikan akhlak secara kontinyu dan senantiasa mengontrol perkembangan psikis dan mental mereka. Sebab jika tidak, maka “lingkungan” yang dominan membentuk kepribadian mereka, lingkunganlah yang lebih dominan membentuk pola pikir, sikap dan perilaku mereka. Jadi jangan salahkan mereka jika suatu ketika kelak bertindak asusila dan segala bentuk penyakit masyarakat lainnya. Coba anda bayangkan, interaksi dan pengawasan oleh guru-guru mereka di sekolah rata-rata berkisar 5-7 jam sehari. Selebihnya kurang lebih 17 jam mereka terpapar oleh lingkungan (teman, tetangga, teknologi informasi, dan sebagainya) dan keluarga. Apakah Anda rela, waktu yang tersisa itu dominan dipengaruhi atau dibentuk oleh lingkungan mereka? Apakah Anda rela kelak menjadi “asing” bagi anak-anak Anda sendiri? Walhasil, semua terpulang kepada Anda sebagai pelakon panggung kehidupan ini.***

Catatan Kaki:
  1. Lihat Wahyuni, D dan Rahmadewi. 2011. “Kajian Profil Penduduk Remaja (10-24 Tahun); Ada Apa Dengan Remaja?”.  Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN.
  2. Lihat “Jumlah Remaja Melahirkan Melonjak” http://health.kompas.com Rabu, 9 Januari 2013.
  3. Lihat Khasanah, FU. 2011. “Membangun Kesadaran Remaja Berperilaku Sehat”. BKKBN Prov. DIY.
  4. Ibid.
  5. Ibid.
  6. Lihat komentar pada artikel “Iklan Menyesatkan Genre (Generasi Berencana)” http://ahmedfikreatif.wordpress.com/2011/10/27/tayangan-iklan-menyesatkan-genre-generasi-berencana 27 Oktober 2011.
  7. Ibid.
  8. Iklan Layanan Masyarakat BKKBN versi “genre” diperankan beberapa artis (celebrity endorser) diantaranya Afgan Syahreza dan Sinta/Jojo.
  9. Lihat “Apa Kabar Indonesia Malam” TV One edisi 14 April 2013 dengan Tema “Hamil dan Menikah Dini Dilarang Ikut UN”.
  10. Selaku dosen penguji tesis yang diungkapkan beliau pada seminar tesis penulis tanggal 12 April 2013.
  11. Lihat Al-Qur’an Surah At- Tahriim Ayat 6 (Q.S. 66: 6).
Read more...

Orang Tua Cerdas


mengajari anakBeberapa hari yang lalu, ada kejadian menarik di kampus sewaktu akan konsultasi dengan pembimbing tesis. Listrik di lantai 2 FKM mati akhirnya rencana konsultasi dengan pembimbing terpending sementara sambil menunggu listrik hidup kembali. Di ruang Prodi Pascasarjana yang rencananya sebagai tempat konsultasi lumayan gelap, hanya sinar matahari dari depan pintu ruang yang sedikit menerangi, walaupun itu tidak keseluruhan (diluar ruang sedikit mendung). Diruangan itu hanya ada saya, seorang mahasiswi bimbingan tesis juga (Mba R), ibu tenaga administrasi (Mba M) dan Ibu Dosen Pembimbing tentunya (Ibu S). Tapi sebelumnya, ada Pak R yang ngomel-ngomel sembari marah-marah. Saya hanya terdiam dan sesekali tersenyum, termasuk Mba M dan Mba R, terkecuali Bu S yang kadang berkomentar atau menimpali kata-kata Pak R. Pemicunya lagi-lagi kondisi seminar proposal teman yang tidak dihadiri dengan Dosen Pembimbingnya. Menurutnya, Dosen Pembimbing yang dimaksud bukan saat ini saja bikin ulah, hampir sebagian besar mahasiswa bimbingannya tak ia dampingi kala seminar/sidang berlangsung. Saya pribadi maklum dengan perilaku Pak R, jika berada di posisi yang sama mungkin saya juga akan melakukan hal demikian.

Tak lama setelah Pak R berlalu, disela-sela kejadian listrik yang masih mati, tuk mengisi kekosongan kegiatan, Mba M dan Ibu S berbincang-bincang, Mba R kadang nyeletuk sesekali sedangkan saya lebih banyak menyimak. Karena waktu shalat ashar sudah masuk, Bu S pun berlalu mengambil wudhu dan beranjak shalat. Karena saya akrab dengan Mba M saya pun sesekali ngobrol dengannya. “M sekarang tinggal di mana?” “oww sekarang saya tinggal di Antang sama Suamiku” sambungnya. “Bukan tempat yang dulu lagi di Batua?” Tanyaku kembali. “bukanmi kak, saya di Antang sekarang” jawabnya. 
Tiba-tiba Bu S nyeletuk yang ternyata sudah selesai shalatnya, “M, tolong nah, cek coba Sekolahnya Wahdah kalau pulangki atau lewat didepannya, saya dapat info dari ade angkatku sekolah itu buka pendaftaran untuk murid berkebutuhan khusus!”. “Ow iye bu, nanti sy cek” Jawab M. 

Sambil merapikan alat shalatnya Bu S kembali berujar “kalau kakaknya rencana mau saya masukkan di pesantren. Kan nanti ini ia sudah tammat SD”. “wih ibu, masih kecil gitu mau dimasukkan di Pesantren” kata M setengah terperangah. “masalahnya, saya prihatin dengan pergaulan anak-anak sekarang” sambung Bu S.
Percakapan sederhana ini membuat saya termenung, sesekali saya hanya menyimak percakapan selanjutnya, tanpa pernah berkomentar apapun. Apa yang dikemukan oleh Ibu S menyiratkan kondisi lingkungan di perkotaan sekarang relatif tidak sehat lagi bagi perkembangan psikis anak. Anak akan mudah mendapat pengaruh negatif dari lingkugan pergaulan yang tidak sehat. Apa yang direncanakan oleh ibu S merupakan upaya preventif dari hal tersebut. Sebagai orang luar, saya memaklumi keinginan dari ibu S sebab orang tua mana yang tidak menginginkan anaknya bertumbuh dengan baik, tidak terpapar pengaruh negatif, apalagi sampai turut terjerumus dalam perilaku negatif. 

Saya jadi teringat dengan pengalaman saya sendiri ketika baru tamat SD. Ayah menginginkan saya masuk pesantren sedang ibu berat hati untuk melepaskan kala itu. Yang mendasari ayah menginginkan hal tersebut karena hatinya kepincut melihat anak-anak pesantren yang sering magang di masjid berceramah jika saat bulan Ramadhan tiba. Sepengetahuan saya memang saat itu, jika bulan ramadhan tiba beberapa santri dikirim tuk menjadi penceramah ke beberapa masjid di kampung kami. Ada juga yang bertindak sebagai imam tarawih selama sebulan penuh. Persepsi ayah yang mungkin hampir sama orang tua pada umumnya saat itu bahwa anak pesantren itu paham ilmu agama, saleh dan kelak dewasa bisa menjadi mubalig atau setidaknya berguna ditengah-tengah masyarakat. Dengan keilmuannya bisa memberi dampak positif bagi anak-anak lain. Walau kadang persepsi itu tidak selalu berkorelasi positif dengan fakta sesungguhnya. Sebab tidak semua luaran pesantren menjadi seperti yang Ayah persepsikan.

Sikap yang ditunjukkan oleh Ibu S maupun Ayah, walau motifnya berbeda, namun pada dasarnya mereka sama-sama menginginkan sesuatu yang terbaik kelak buat anaknya di masa depan. Motif mereka masing-masing didasari oleh pengetahuan sebelumnya tentang idealitas dalam membentuk perilaku anak kelak. Hal ini pula menyiratkan pada saya bahwa mereka sadar berada dalam posisi memikul tanggung jawab sebagai orang tua dan tanggung jawab inilah yang menurutku tidaklah mudah. Rasulullah mengatakan: "Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR. al-Bukhari dan Muslim). Ini menandakan pengaruh orang tua (internal) sangat diperlukan untuk memfilter pengaruh-pengaruh negatif dari luar rumah (eksternal).  

Tapi saya percaya, tak ada satupun orang tua yang tidak menginginkan anaknya menjadi baik kelak. Orang tua yang bejat sekalipun seperti peminum, perampok, penjahat, dsb-nya mereka memiliki konsepsi idealitas dalam membentuk karakter anak. Tentunya pola penyikapan mereka, tergantung atau dipengaruhi dari apa yang mereka ketahui dan pahami (pengetahuan). Berangkat dari hal itu, sebagaimana yang dikemukakan Paman M, dalam menghasilkan generasi yang berkualitas, mau tidak mau orang tua harus cerdas. Cerdas dalam aspek intelektualitas, emosional terlebih pada aspek spiritualitas. Menjadi orang tua cerdas bukan hanya sekedar niat saja, tetapi ada upaya-upaya untuk mengetahui dan memahami pola perlakuan terhadap anak. Dan tentunya pembelajaran itu tidak sesingkat yang kita kira, ibarat pendidikan formal yang hanya butuh waktu beberapa tahun, tapi bisa saja menghabiskan sebagian sisa usia Anda. Sebab masa kristalisasi karakter anak, awalnya dibentuk dalam lingkungan keluarga dan sesuatu yang sudah mengkristal akan sulit untuk dirubah kembali. Hhmm…, gimana pemirsa, sudah siapkah Anda menjadi orang tua yang cerdas? sudah siapkah Anda menjadi orang tua yang ideal buat anak-anak Anda?? ***
image source by kolomkita.detik.com
Read more...

Kesulitan dan Kelapangan


jam pasir
Setelah saya menyimak statement Cak Nun pada rubrik Reportase via caknun.com dengan judul “Kunjungan Rombongan PKS ke Pendopo Kadipiro”, saya agak terusik dengan beberapa statement yang dikemukakan beliau. Bukan karena saya menentang statement itu, justru keterusikan itu timbul karena menurut saya ada relevansi dengan apa yang pernah aku dengar dari Paman M dan AGH.

Cak Nun melontarkan pertanyaan kepada hadirin pada saat itu “apakah ‘tertawa’ itu benar atau baik?” Sebelum hadirin menjawab beliau menyambung statementnya “Kebaikan itu menyangkut moral dan etika, sementara kebenaran menyangkut sains. Tertawa bukan baik dan bukan benar, melainkan indah. Dimensi keindahan ini yang sudah lama dikesampingkan di Indonesia, maka tak ada diplomasi di Indonesia. Tak ada retorika. Dalam perjalanan saya keliling dunia bersama teman-teman, tak saya temukan diplomat Indonesia.”

Lebih lanjut beliau mengemukakan: “Ludruk itu keindahan. Dan keindahan ini bisa bermacam-macam akibat yang ditimbulkannya: bisa berakibat menangis atau tertawa. Tertawa dan menangis kan tak berlawanan. Justru di puncak frustrasi Anda akan tertawa, dan di puncak tawa Anda mengeluarkan air mata.”
Sekilas tertawa dan menangis itu sesuatu yang berlawanan, namun hakikatnya menurut Caknun bukan sesuatu yang berlawanan. Sebenarnya yang menjadi penekanan pada keterusikan saya bahwa terkadang kita mempersepsikan suatu fenomena berlawanan namun pada hakikatnya ia beriringan menyatu dalam naungan keindahan hidup dan kehidupan.

Dilain sisi, suatu ketika Paman M bertanya; “Karena menurutmu kamu telah melalui berbagai episode cinta, sekarang saya bertanya, apa itu Cinta???”. Mendengar pertanyaan beliau, kewalahan juga aku berpikir pada suatu kata atau istilah yang sudah lazim bagi kebanyakan orang. Tanpa aku jawab, beliau melanjutkan: “Cinta itu ibarat dua sisi koin mata uang, disisi yang satu ada sedih, tangis, sengsara, susah, sulit dan di sisi lainnya ada tawa, senang,bahagia, mudah, lapang dan seterusnya. Kesemuanya menyatu dalam naungan Cinta, tidak berlawanan pun tidak ada keterpisahan, justru senantiasa beriringan dalam mengarungi episode kehidupan kita. Cinta adalah sebuah nilai esensial yang kompleks dan utama dalam kehidupan personal, keluarga, maupun masyarakat”. Berdasarkan statement beliau, lagi-lagi saya tiba pada suatu perenungan bahwa hakikatnya fenomena sedih, tawa dan semacamnya bukanlah sesuatu yang berlawanan.

Hal ini pula relevan dengan konsep Alquran tentang kesulitan_kelapangan dan sejenisnya yang pada hakikatnya bukan suatu fenomena yang berlawanan. Alquran mengatakan “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kelapangan. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kelapangan” (QS. Al-Insyirah: 5-6). AGH mengatakan pada suatu pengajian, mengapa  pada kata “usriinn” dan “yusrann” tidak ada kata penghubung seperti “waw” dan semacamnya? Karena pada hakikatnya kedua kata itu tidak ada keterpisahan, ia sesuatu yang beriringan. Jadi jika mau ditafsirkan dengan tepat yakni “sesudah kesulitan-kelapangan” pun sebaliknya “sesudah kelapangan-kesulitan”. Keduanya pun tidak memiliki kata penghubung sebab sifat kedua kata itu hakikatnya tidak memiliki “jarak”. Ibarat sebuah tagline iklan shampoo dulu yang sering kita dengar two in one. Namun esensinya hanya satu sifat, hanya persepsi dan istilah kita yang membedakan.

Menurut beliau (AGH), jika kita mengalami kesulitan, kesedihan dan sejenisnya tunggu kelak didepannya ada kemudahan, kesenangan dan sejenisnya. Begitupula sebaliknya setelah mengalami kemudahan atau kesenangan, tunggu akan kita tuai kesulitannya. Tidak ada alternatif lain. Tidak ada makhluk yang sedih berkepanjangan, tidak ada pula makhluk yang senang berkepanjangan, pasti ada jeda untuk beralih.  

Pesan moral sebenarnya dari firman Tuhan itu kita dianjurkan senantiasa berhati-hati, mewaspadai, mengontrol kejiwaan kita, dalam mempersiapkan diri agar jika terluka, tdk terlalu tenggelam dalam lara. Pun demikian sebaliknya persiapan diri jika mengalami kesenangan agar tidak larut dalam efouria berlebihan. Sebab segala sesuatu yg berlebihan adalah hal yang tidak dikehendaki oleh Tuhan yang dampaknya merugikan Abdi (hamba/makhluk) itu sendiri, baik secara fisik terlebih psikis. 

Namun, terkadang pada umumnya persepsi ego lagi awam kita, hanya mau mempersepsikan tangis, sedih, sengasara itu musibah sedangkan tawa, senang, bahagia, itu berkah. Padahal kesemuanya menyatu dalam Hidayah Tuhan, manifestasi Cinta kepada makhlukNya. Jika demikian adanya, benar apa yang difirmankan Tuhan dalam hadist qudsi bahwa "Aku adalah apa yang hambaku sangkakan". ***
image source by rw03setu.wordpress.com
Read more...