Orang Tua Cerdas


mengajari anakBeberapa hari yang lalu, ada kejadian menarik di kampus sewaktu akan konsultasi dengan pembimbing tesis. Listrik di lantai 2 FKM mati akhirnya rencana konsultasi dengan pembimbing terpending sementara sambil menunggu listrik hidup kembali. Di ruang Prodi Pascasarjana yang rencananya sebagai tempat konsultasi lumayan gelap, hanya sinar matahari dari depan pintu ruang yang sedikit menerangi, walaupun itu tidak keseluruhan (diluar ruang sedikit mendung). Diruangan itu hanya ada saya, seorang mahasiswi bimbingan tesis juga (Mba R), ibu tenaga administrasi (Mba M) dan Ibu Dosen Pembimbing tentunya (Ibu S). Tapi sebelumnya, ada Pak R yang ngomel-ngomel sembari marah-marah. Saya hanya terdiam dan sesekali tersenyum, termasuk Mba M dan Mba R, terkecuali Bu S yang kadang berkomentar atau menimpali kata-kata Pak R. Pemicunya lagi-lagi kondisi seminar proposal teman yang tidak dihadiri dengan Dosen Pembimbingnya. Menurutnya, Dosen Pembimbing yang dimaksud bukan saat ini saja bikin ulah, hampir sebagian besar mahasiswa bimbingannya tak ia dampingi kala seminar/sidang berlangsung. Saya pribadi maklum dengan perilaku Pak R, jika berada di posisi yang sama mungkin saya juga akan melakukan hal demikian.

Tak lama setelah Pak R berlalu, disela-sela kejadian listrik yang masih mati, tuk mengisi kekosongan kegiatan, Mba M dan Ibu S berbincang-bincang, Mba R kadang nyeletuk sesekali sedangkan saya lebih banyak menyimak. Karena waktu shalat ashar sudah masuk, Bu S pun berlalu mengambil wudhu dan beranjak shalat. Karena saya akrab dengan Mba M saya pun sesekali ngobrol dengannya. “M sekarang tinggal di mana?” “oww sekarang saya tinggal di Antang sama Suamiku” sambungnya. “Bukan tempat yang dulu lagi di Batua?” Tanyaku kembali. “bukanmi kak, saya di Antang sekarang” jawabnya. 
Tiba-tiba Bu S nyeletuk yang ternyata sudah selesai shalatnya, “M, tolong nah, cek coba Sekolahnya Wahdah kalau pulangki atau lewat didepannya, saya dapat info dari ade angkatku sekolah itu buka pendaftaran untuk murid berkebutuhan khusus!”. “Ow iye bu, nanti sy cek” Jawab M. 

Sambil merapikan alat shalatnya Bu S kembali berujar “kalau kakaknya rencana mau saya masukkan di pesantren. Kan nanti ini ia sudah tammat SD”. “wih ibu, masih kecil gitu mau dimasukkan di Pesantren” kata M setengah terperangah. “masalahnya, saya prihatin dengan pergaulan anak-anak sekarang” sambung Bu S.
Percakapan sederhana ini membuat saya termenung, sesekali saya hanya menyimak percakapan selanjutnya, tanpa pernah berkomentar apapun. Apa yang dikemukan oleh Ibu S menyiratkan kondisi lingkungan di perkotaan sekarang relatif tidak sehat lagi bagi perkembangan psikis anak. Anak akan mudah mendapat pengaruh negatif dari lingkugan pergaulan yang tidak sehat. Apa yang direncanakan oleh ibu S merupakan upaya preventif dari hal tersebut. Sebagai orang luar, saya memaklumi keinginan dari ibu S sebab orang tua mana yang tidak menginginkan anaknya bertumbuh dengan baik, tidak terpapar pengaruh negatif, apalagi sampai turut terjerumus dalam perilaku negatif. 

Saya jadi teringat dengan pengalaman saya sendiri ketika baru tamat SD. Ayah menginginkan saya masuk pesantren sedang ibu berat hati untuk melepaskan kala itu. Yang mendasari ayah menginginkan hal tersebut karena hatinya kepincut melihat anak-anak pesantren yang sering magang di masjid berceramah jika saat bulan Ramadhan tiba. Sepengetahuan saya memang saat itu, jika bulan ramadhan tiba beberapa santri dikirim tuk menjadi penceramah ke beberapa masjid di kampung kami. Ada juga yang bertindak sebagai imam tarawih selama sebulan penuh. Persepsi ayah yang mungkin hampir sama orang tua pada umumnya saat itu bahwa anak pesantren itu paham ilmu agama, saleh dan kelak dewasa bisa menjadi mubalig atau setidaknya berguna ditengah-tengah masyarakat. Dengan keilmuannya bisa memberi dampak positif bagi anak-anak lain. Walau kadang persepsi itu tidak selalu berkorelasi positif dengan fakta sesungguhnya. Sebab tidak semua luaran pesantren menjadi seperti yang Ayah persepsikan.

Sikap yang ditunjukkan oleh Ibu S maupun Ayah, walau motifnya berbeda, namun pada dasarnya mereka sama-sama menginginkan sesuatu yang terbaik kelak buat anaknya di masa depan. Motif mereka masing-masing didasari oleh pengetahuan sebelumnya tentang idealitas dalam membentuk perilaku anak kelak. Hal ini pula menyiratkan pada saya bahwa mereka sadar berada dalam posisi memikul tanggung jawab sebagai orang tua dan tanggung jawab inilah yang menurutku tidaklah mudah. Rasulullah mengatakan: "Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi." (HR. al-Bukhari dan Muslim). Ini menandakan pengaruh orang tua (internal) sangat diperlukan untuk memfilter pengaruh-pengaruh negatif dari luar rumah (eksternal).  

Tapi saya percaya, tak ada satupun orang tua yang tidak menginginkan anaknya menjadi baik kelak. Orang tua yang bejat sekalipun seperti peminum, perampok, penjahat, dsb-nya mereka memiliki konsepsi idealitas dalam membentuk karakter anak. Tentunya pola penyikapan mereka, tergantung atau dipengaruhi dari apa yang mereka ketahui dan pahami (pengetahuan). Berangkat dari hal itu, sebagaimana yang dikemukakan Paman M, dalam menghasilkan generasi yang berkualitas, mau tidak mau orang tua harus cerdas. Cerdas dalam aspek intelektualitas, emosional terlebih pada aspek spiritualitas. Menjadi orang tua cerdas bukan hanya sekedar niat saja, tetapi ada upaya-upaya untuk mengetahui dan memahami pola perlakuan terhadap anak. Dan tentunya pembelajaran itu tidak sesingkat yang kita kira, ibarat pendidikan formal yang hanya butuh waktu beberapa tahun, tapi bisa saja menghabiskan sebagian sisa usia Anda. Sebab masa kristalisasi karakter anak, awalnya dibentuk dalam lingkungan keluarga dan sesuatu yang sudah mengkristal akan sulit untuk dirubah kembali. Hhmm…, gimana pemirsa, sudah siapkah Anda menjadi orang tua yang cerdas? sudah siapkah Anda menjadi orang tua yang ideal buat anak-anak Anda?? ***
image source by kolomkita.detik.com
Read more...

Kesulitan dan Kelapangan


jam pasir
Setelah saya menyimak statement Cak Nun pada rubrik Reportase via caknun.com dengan judul “Kunjungan Rombongan PKS ke Pendopo Kadipiro”, saya agak terusik dengan beberapa statement yang dikemukakan beliau. Bukan karena saya menentang statement itu, justru keterusikan itu timbul karena menurut saya ada relevansi dengan apa yang pernah aku dengar dari Paman M dan AGH.

Cak Nun melontarkan pertanyaan kepada hadirin pada saat itu “apakah ‘tertawa’ itu benar atau baik?” Sebelum hadirin menjawab beliau menyambung statementnya “Kebaikan itu menyangkut moral dan etika, sementara kebenaran menyangkut sains. Tertawa bukan baik dan bukan benar, melainkan indah. Dimensi keindahan ini yang sudah lama dikesampingkan di Indonesia, maka tak ada diplomasi di Indonesia. Tak ada retorika. Dalam perjalanan saya keliling dunia bersama teman-teman, tak saya temukan diplomat Indonesia.”

Lebih lanjut beliau mengemukakan: “Ludruk itu keindahan. Dan keindahan ini bisa bermacam-macam akibat yang ditimbulkannya: bisa berakibat menangis atau tertawa. Tertawa dan menangis kan tak berlawanan. Justru di puncak frustrasi Anda akan tertawa, dan di puncak tawa Anda mengeluarkan air mata.”
Sekilas tertawa dan menangis itu sesuatu yang berlawanan, namun hakikatnya menurut Caknun bukan sesuatu yang berlawanan. Sebenarnya yang menjadi penekanan pada keterusikan saya bahwa terkadang kita mempersepsikan suatu fenomena berlawanan namun pada hakikatnya ia beriringan menyatu dalam naungan keindahan hidup dan kehidupan.

Dilain sisi, suatu ketika Paman M bertanya; “Karena menurutmu kamu telah melalui berbagai episode cinta, sekarang saya bertanya, apa itu Cinta???”. Mendengar pertanyaan beliau, kewalahan juga aku berpikir pada suatu kata atau istilah yang sudah lazim bagi kebanyakan orang. Tanpa aku jawab, beliau melanjutkan: “Cinta itu ibarat dua sisi koin mata uang, disisi yang satu ada sedih, tangis, sengsara, susah, sulit dan di sisi lainnya ada tawa, senang,bahagia, mudah, lapang dan seterusnya. Kesemuanya menyatu dalam naungan Cinta, tidak berlawanan pun tidak ada keterpisahan, justru senantiasa beriringan dalam mengarungi episode kehidupan kita. Cinta adalah sebuah nilai esensial yang kompleks dan utama dalam kehidupan personal, keluarga, maupun masyarakat”. Berdasarkan statement beliau, lagi-lagi saya tiba pada suatu perenungan bahwa hakikatnya fenomena sedih, tawa dan semacamnya bukanlah sesuatu yang berlawanan.

Hal ini pula relevan dengan konsep Alquran tentang kesulitan_kelapangan dan sejenisnya yang pada hakikatnya bukan suatu fenomena yang berlawanan. Alquran mengatakan “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kelapangan. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kelapangan” (QS. Al-Insyirah: 5-6). AGH mengatakan pada suatu pengajian, mengapa  pada kata “usriinn” dan “yusrann” tidak ada kata penghubung seperti “waw” dan semacamnya? Karena pada hakikatnya kedua kata itu tidak ada keterpisahan, ia sesuatu yang beriringan. Jadi jika mau ditafsirkan dengan tepat yakni “sesudah kesulitan-kelapangan” pun sebaliknya “sesudah kelapangan-kesulitan”. Keduanya pun tidak memiliki kata penghubung sebab sifat kedua kata itu hakikatnya tidak memiliki “jarak”. Ibarat sebuah tagline iklan shampoo dulu yang sering kita dengar two in one. Namun esensinya hanya satu sifat, hanya persepsi dan istilah kita yang membedakan.

Menurut beliau (AGH), jika kita mengalami kesulitan, kesedihan dan sejenisnya tunggu kelak didepannya ada kemudahan, kesenangan dan sejenisnya. Begitupula sebaliknya setelah mengalami kemudahan atau kesenangan, tunggu akan kita tuai kesulitannya. Tidak ada alternatif lain. Tidak ada makhluk yang sedih berkepanjangan, tidak ada pula makhluk yang senang berkepanjangan, pasti ada jeda untuk beralih.  

Pesan moral sebenarnya dari firman Tuhan itu kita dianjurkan senantiasa berhati-hati, mewaspadai, mengontrol kejiwaan kita, dalam mempersiapkan diri agar jika terluka, tdk terlalu tenggelam dalam lara. Pun demikian sebaliknya persiapan diri jika mengalami kesenangan agar tidak larut dalam efouria berlebihan. Sebab segala sesuatu yg berlebihan adalah hal yang tidak dikehendaki oleh Tuhan yang dampaknya merugikan Abdi (hamba/makhluk) itu sendiri, baik secara fisik terlebih psikis. 

Namun, terkadang pada umumnya persepsi ego lagi awam kita, hanya mau mempersepsikan tangis, sedih, sengasara itu musibah sedangkan tawa, senang, bahagia, itu berkah. Padahal kesemuanya menyatu dalam Hidayah Tuhan, manifestasi Cinta kepada makhlukNya. Jika demikian adanya, benar apa yang difirmankan Tuhan dalam hadist qudsi bahwa "Aku adalah apa yang hambaku sangkakan". ***
image source by rw03setu.wordpress.com
Read more...