Suatu malam, beberapa tahun yang
lalu, sekitar medio 2014, saya sempat terlibat perbincangan dengan paman PMJ,
kurang lebih percakapan kami seperti ini.
“Om dalam memilih perempuan yang
menjadi pendamping hidup, saya hanya berharap wanita sederhana, rupa yang
biasa-biasa saja, dan yang terpenting bisa diajak hidup susah sebab perempuan
yang demikian otomatis bisa diajak hidup senang kelak. Bisa diajak hidup senang
itu banyak om, nah yang bisa diajak hidup susah itu yang langka”. Kata saya memecah
suasana.
Sejenak Paman terdiam, tersenyum
lalu tertawa kecil seraya berujar “hehehe, Acca, Acca..., hal
demikian itu gak otomatis”
“maksudnya om?” kejarku.
“kamu sebenarnya mau mengatakan
bahwa perempuan yang bisa diajak hidup susah otomatis bisa diajak hidup senang,
sedangkan perempuan yang bisa kau ajak hidup senang otomatis tak bisa diajak
hidup susah, begitu...?” kejar paman.
“kalau kamu memposisikan hidup senang atau hidup susah, kaya dan miskin, manis dan pahit, itu takarannya
materi, kamu akan terjebak dengan persepsimu, itu hanya sekedar asumsi. Yang
benar, perempuan yang bisa kau ajak hidup susah belum tentu bisa kau ajak hidup
senang, demikian pula sebaliknya perempuan yang bisa kau ajak hidup senang
belum tentu tak bisa kau ajak hidup susah, gak ada otomatis disitu” lanjut
paman.
“loh kok pernyataannya seperti
itu Om?” sambungku
“bukan hanya pernyataan tetapi
kenyataannya memang demikian. Intinya cari yang mau diajak hidup susah maupun senang, jangan hidup susah aja..” lanjut paman.
“saya belum ngerti om” kataku.
“endapkan penasaranmu, pulanglah,
renungkanlah dulu baik-baik baru kita diskusikan kembali” tutup paman.
Saya membawa pulang tema itu
dengan penasaran. Apa gerangan benang merah dari pernyataan paman tadi. Pada
pertemuan berikutnya, selepas nyanyi bareng kembali saya mengingatkan tema yang
pernah kami bincangkan1.
Hidup susah dan senang sebenarnya
suatu istilah dari keadaan miskin dan kaya. Ukurannya jelas materi atau harta.
Kalau kaya, punya duit, di-stereotip-kan sebagai hidup senang, bisa memiliki
dan membeli apa saja yang diinginkan, sedangkan miskin, gak punya duit yang
cukup, di-stereotip-kan sebagai hidup susah, tak bisa berbuat banyak apalagi
berkeinginan memiliki apa-apa.
Menurut paman pernyataan itu sangat
standar, mainstream, namun bukan
berarti stereotip itu salah. Tetapi jika kamu mau meningkatkan sedikit kelas
pemahamanmu, begini, dalam keadaan apapun, miskin atau kaya, ada problemnya masing-masing,
ukuran kesenangan atau kesusahan kita sendiri yang menentukan, kita punya kuasa
atau upaya untuk merasa senang atau susah dalam situasi apapun.
Banyak orang di ketika miskin, minim
popularitas, rukun-rukun saja, namun diketika cobaan kekayaan dan popularitas mendera,
justru kekacauan rumah tangga terjadi, perhatian terhadap anak terbengkalai, bahkan
beberapa kasus sampai mengakibatkan perceraian. Sebaliknya pun demikian
diketika kaya, di saat popularitasnya lagi naik daun, terlihat mesra, rukun-rukun
saja, bahkan semua mata seakan iri melihatnya, namun diketika cobaan
kemiskinan, kebangkrutan, ketakberdayaan mendera, tidak sedikit yang mengalami
kekacauan rumah tangga, putus asa dengan keadaan, bahkan sampai kepada proses
perceraian. Walau cerai adalah sesuatu yang sah dan halal namun tak bisa
dipungkiri ada suatu kekeliruan sikap disitu2.
Kekeliruannya adalah mereka manusia-manusia yang “gagap” menyikapi kehidupan, tidak siap menghadapi berbagai warna kehidupan akibat tidak mempersiapkan diri. Tapi
semua itu bagian dari proses pendewasaan, menjadikan seseorang semakin bijak
atau malah sebaliknya.
Pernyataan paman ini mengingatkan
saya dengan ungkapan dari Emha Ainun Najib (Cak Nun) “bahwa keberhasilan dan
kebahagiaan hidupmu tidak terutama tergantung pada keadaan-keadaan yang baik
atau buruk di luar dirimu, melainkan tergantung pada kemampuan ilmu dan
mentalmu menyikapi keadaan-keadaan itu.”3
Lebih lanjut paman berujar bahwa
benang merah dari semua keadaan itu adalah rasa syukur, “pernahkah
kamu merasa miskin di antara pencapaianmu yang banyak? mengapa demikian? ternyata keyword-nya adalah syukur.
Manusia yang selalu merasa kurang tentulah belum pandai bersyukur. Manusia yang
serakah adalah yang sama sekali tidak pernah bersyukur. Puasa hadir membawa
salah satu hikmah meng-upgrade syukur
kita yang mungkin cemplang selama ini. Ketahuilah bahwa dengan banyak
bersyukur, nantinya akan sampai pada inti pemahaman syukur itu sendiri. Dan
yang telah paham bersyukur yang sesungguhnya, maka dialah yang akan senantiasa
merasa "kaya". Dan yang telah paham bersyukur yang sesungguhnya, maka
dialah yang akan senantiasa siap untuk berbagi. Berbagi..., meski hanya seulas
senyum saja.”4
Sesaat kemudian hening... ***
Catatan kaki:
- Sudah menjadi kebiasan kami diawal pertemuan, biasanya paman PMJ bernyanyi diiringi organ music yang beliau mainkan sendiri, kadang saya turut nyumbang suara, walau sering falees, hehehe..
- Banyak rujukan tentang hal ini, Anda bisa lihat dalam artikel di antaranya Inilah Penyebab Perceraian Tertinggi Di Indonesia, Faktor Ekonomi Penyebab Dominan Tingginya Angka Perceraian, dan Angka PerceraianMeningkat, Faktor Ekonomi Jadi Penyebab Utama.
- Lihat artikel Cak Nun “Anak Asuh Bernama Indonesia”
- Pernyataan ini pernah di upload paman PMJ di blognya dengan judul artikel “Puasa dan Syukur”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan berkomentar pada kolom yang tersedia.
terima kasih.
salam... ^_^