Ponsel berdering tanda sms berbunyi, terpampang jelas dalam display: “aswbr. Kak, bisa minta tolong?”. Sejenak aku menghela nafas lalu ingatanku kembali pada 4 tahun silam. Seorang perempuan muda yang memutuskan kuliahnya sementara dan terbuang dari keluarga karena MBA (married by accident). Berangkat dari peristiwa itu, ujian hidup baru dimulai. Mulai dari keterbatasan ekonomi sampai perasaan bersalah dan terbuang dari keluarga. Sungguh miris melihat kondisi itu. "Sekali lagi sejarah kembali terulang, hanya waktu dan pelakonnya yang berbeda", gumamku dalam hati.
Sebut sajalah ia AW. Seorang dara yang dilahirkan dari keluarga lumayan berkecukupan, ayahnya seorang PNS kesehatan,
background keluarganya yang lain aku tak tahu, karena memang hanya sekali aku pernah berkunjung kerumahnya. Ia berasal dari sebuah kota kecil bagian selatan Makassar. Pasca pernikahan yang tidak terencana itu, berbagai
persoalan hidup menimpa dirinya dan juga ikut berakibat kepada buah hatinya. Satu persatu terkuak kepermukaan bahwa suaminya memang seorang “penjahat kelamin”. Kejadian itu pernah berlangsung beberapa tahun yang lalu dengan korban seorang perempuan yang berada di seberang pulau, tapi entahlah nasibnya saya tak tahu selanjutnya, apakah digugurkan atau ia ditinggalkan begitu saja. Yang jelas, menurut pengakuan AW, suaminya masih doyan menggoda wanita-wanita yang ada disekitar kampungnya.
Selama dalam proses mengandung dan melahirkan, AW tinggal di rumah mertuanya yang cukup jauh dari kota Makassar. Butuh sekitar 9-10 jam perjalanan untuk tiba dikota itu dengan mengendarai sebuah bus. Selama dalam proses "pelarian" hanya sesekali ayahnya mengontak. Ia terlarang untuk pulang karena keluarganya menganggap peristiwa itu suatu aib yang oleh masyarakat di sekitar rumahnya tidak boleh tahu. Mau tak mau selama dalam proses pelarian itu, hidupnya ditanggung oleh mertua, karena sang suami tak punya pekerjaan lain selain berkebun dan nyambi jadi tukang batu. Ia memang alumni mahasiswa di kampus yang sama dengan AW, tapi sampai sekarang ia tak mempunyai pekerjaan yang tetap untuk menghidupi keluarganya. Di tambah lagi dalam berumah tangga di samping hidup bersama mertua laki-perempuan, ia pun harus bersama dengan saudara suaminya yang sudah berkeluarga pula. Bisa dibayangkan potensi “pergesekan” setiap saat bisa saja terjadi.
Singkat cerita, pasca melahirkan ia pun bertekad melanjutkan kuliahnya yang hanya tersisa beberapa semester sampai benar-benar ia meraih gelar sarjana. Namun masalah tak sampai hanya disitu, keluarga di kampung masih tak membiarkan ia kembali, walau sebenarnya kedua orang tua dan saudara-saudara turut merindukannya. Ia pun pasrah, dengan segenap tenaga tersisa ia tetap melanjutkan kuliah walau harus bermain “kucing-kucingan”, khawatir ada sanak famili ataupun tetangga dari kampung memergoki keberadaannya. Ia mesti numpang kesana-kemari hanya untuk menghindari itu.
Sekelumit kisah teman saya di atas memberi gambaran pada kita bersama, betapa pre marital pregnancy (kehamilan di luar nikah) banyak mendatangkan masalah bagi pelaku, baik itu secara psikologis maupun sosiologis. Secara psikologis, pelaku jiwanya tertekan karena perasaan bersalah yang berkepanjangan baik kepada keluarga maupun norma agama. Sedangkan dari aspek sosiologis, pandangan “miring” dari masyarakat cukup membatasi ruang gerak bersosialisasi pelaku karena perasaan malu, tekanan ini makin hebat jika terjadi dikalangan masyarakat yang masih menjunjung tinggi norma susila. Di sisi lain impian masa depan pelaku jadi berantakan karena accident tersebut.
Dengan jumlah penduduk Indonesia 2010 yang mencapai 237,6 juta jiwa yang 26,67 persen diantaranya adalah remaja, tak dapat dipungkiri remaja kita memang rentan menghadapi berbagai macam problematika seperti masalah kesehatan reproduksi yaitu perilaku seksual pranikah, Napza dan HIV/AIDS1. Data statistik menunjukkan dalam lima tahun terakhir, jumlah remaja usia 15-19 tahun yang melahirkan melonjak 37 persen. Tak hanya membuat upaya pengendalian penduduk makin sulit, hal ini juga membuat remaja putri kehilangan kesempatan untuk tumbuh kembang dengan baik2. Berdasarkan data SKRRI (Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia) 2002-2003 didapatkan bahwa remaja mengatakan mempunyai teman yang pernah berhubungan seksual pada usia 14-19 tahun (perempuan 34,7%, laki-laki 30,9%) dan usia 20-24 tahun (perempuan 48,6%,laki-laki 46,5%)3. Begitupula survei yang dilakukan oleh Komnas Perlindungan Anak di 33 provinsi pada Januari s/d Juni 2008 menyimpulkan bahwa; (1) 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film porno; (2) 93,7% remaja SMP dan SMA pernah berciuman, genital stimulation, oral seks; (3) 62,7% remaja SMP tidak perawan; (4) 21,2% remaja mengaku pernah aborsi4. Faktor yang paling mempengaruhi remaja untuk melakukan hubungan seksual (3x lebih besar) adalah (1) teman sebaya/pacar; (2) mempunyai teman yang setuju dengan hubungan seks pra nikah; (3) mempunyai teman yang mempengaruhi untuk melakukan seks pra nikah (Analisa Lanjut SKRRI, 2003)5.
Melihat data tersebut memang cukup memprihatinkan, kalangan remaja kita dewasa ini sudah sedemikian jauh pola interaksinya. Lantas pertanyaannya kemudian, tanggung jawab siapa sehingga fenomena ini bisa terjadi? upaya preventif apa yang bisa dilakukan?
Pemerintah melalui BKKBN memang sudah membuat sebuah program untuk mengantisipasi problem remaja terkait pre marital preganancy dan pernikahan dini diantaranya program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja (PKBR). Dalam prakteknya di sekolah bersama-sama dengan pihak sekolah didirikan Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK-R). PKBR dengan program PIKR-nya sekarang ini diharapkan mampu memfasilitasi terwujudnya “Tegar Remaja” yakni remaja yang tidak saja berperilaku sehat dan terhindar dari risiko Triad KRR (Seksualitas, Napza dan HIV/AIDS) tetapi juga remaja yang mau menunda usia perkawinannya hingga mencapai kedewasaan penuh. Selain itu, bercita-cita mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (KKBS), serta mampu menjadi contoh, model, idola, dan sumber informasi bagi teman sebayanya6.
BKKBN juga terus melakukan edukasi terhadap pelajar dan remaja. Melalui berbagai kegiatan remaja, sudah dilakukan edukasi sekaligus sosialisasi soal pentingnya ber-KB dalam membentuk keluarga. Misalnya, saja, BKKBN di berbagai daerah telah menggelar lomba poster untuk kalangan pelajar di tingkat SMP dan SMA. Program lain yang sudah dilaksanakan adalah seni tari, teater, musik, dan lomba poster. Program ini BKKBN namakan Program “GenRe” (Generasi Berencana)7. Tidak hanya sampai di situ, agar lebih tersosialisasi secara massif, BKKBN merilis beberapa iklan layanan masyarakat versi “Genre” yang ditayangkan di beberapa TV Swasta Nasional8.
Kita patut mengapresiasi upaya pemerintah tersebut, namun di sisi lain sering kita mendapatkan bahwa program yang dilaksanakan pemerintah hanya bersifat insidentil, seremonial belaka, kalau tak mau dikatakan sekedar memenuhi kewajiban tanpa mengena substansi persoalan. Tanpa ada upaya preventif, pengawasan dan program berkelanjutan secara terus menerus, saya pikir program ini tidak akan berjalan maksimal. Belum lagi persoalan bagi remaja kita yang sudah terjerumus ke dalam perilaku tersebut, apakah ada upaya yang serius untuk merehabilitasinya? Baru-baru ini, salah satu stasiun TV swasta nasional mewartakan bahwa pelajar yang hamil dan melakukan pernikahan dini dilarang ikut Ujian Nasional (UN)9. Sungguh miris, mereka yang sudah terpuruk seperti itu, dihukum lagi larangan ikut ujian nasional. Padahal hak memperoleh pendidikan itu merupakan amanah konstitusi kita, belum lagi dari aspek hak azasi manusia, memperoleh pendidikan itu hak azasi bagi setiap warga negara. Sebagaimana yang diungkap dr. S10 bahwa “fenomena hamil dan pernikahan dini pada kalangan pelajar yang membuat mereka dilarang mengikuti UN adalah bentuk mengorbankan mereka dua kali. Padahal logikanya, pendidikan kesehatan reproduksi tidak cukup, pelajar membuat kesalahan, pihak sekolah dan diknas sudah tidak menyediakan program yang cukup, begitu terjadi kesalahan menghukumnya keras sekali. Itu harus kita lawan selaku orang Kesehatan Masyarakat sebenarnya. Terjadi di satu sisi pengabaian, begitu terjadi masalah bukannya kita memberikan dukungan, kita malah menghukum dan mengukumnya tidak kira-kira, merampas hak orang untuk bersekolah, ini melanggar Undang-Undang Dasar kita”.
Pada dimensi lain, peran
orang tua sangat krusial meminimalisir problematika remaja kita. Bahkan jauh berabad-abad sebelumnya Alqur’an sudah memperingatkan kewajiban
orang tua ini bahwa “hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...”
11. Pesan
Alqur'an ini menyiratkan bahwa sebagai orang tua, selain menjaga diri dari segala bentuk perintah dan larangan Tuhan, orang tua pun turut bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan anak-anak mereka. Bukan hanya dari segi materi, tapi lebih dari itu, menjadi motivator buat mereka, menanamkan pendidikan akhlak secara kontinyu dan senantiasa mengontrol perkembangan psikis dan mental mereka. Sebab jika tidak, maka “lingkungan” yang dominan membentuk kepribadian mereka, lingkunganlah yang lebih dominan membentuk pola pikir, sikap dan perilaku mereka. Jadi jangan salahkan mereka jika suatu ketika kelak bertindak asusila dan segala bentuk penyakit masyarakat lainnya. Coba anda bayangkan, interaksi dan pengawasan oleh guru-guru mereka di sekolah rata-rata berkisar 5-7 jam sehari. Selebihnya kurang lebih 17 jam mereka terpapar oleh lingkungan (teman, tetangga, teknologi informasi, dan sebagainya) dan keluarga. Apakah Anda rela, waktu yang tersisa itu dominan dipengaruhi atau dibentuk oleh lingkungan mereka? Apakah Anda rela kelak menjadi “asing” bagi anak-anak Anda sendiri? Walhasil, semua terpulang kepada Anda sebagai pelakon panggung kehidupan ini.***
Catatan Kaki:
- Lihat Wahyuni, D dan Rahmadewi. 2011. “Kajian Profil Penduduk Remaja (10-24 Tahun); Ada Apa Dengan Remaja?”. Policy Brief Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan – BKKBN.
- Lihat “Jumlah Remaja Melahirkan Melonjak” http://health.kompas.com Rabu, 9 Januari 2013.
- Lihat Khasanah, FU. 2011. “Membangun Kesadaran Remaja Berperilaku Sehat”. BKKBN Prov. DIY.
- Ibid.
- Ibid.
- Lihat komentar pada artikel “Iklan Menyesatkan Genre (Generasi Berencana)” http://ahmedfikreatif.wordpress.com/2011/10/27/tayangan-iklan-menyesatkan-genre-generasi-berencana 27 Oktober 2011.
- Ibid.
- Iklan Layanan Masyarakat BKKBN versi “genre” diperankan beberapa artis (celebrity endorser) diantaranya Afgan Syahreza dan Sinta/Jojo.
- Lihat “Apa Kabar Indonesia Malam” TV One edisi 14 April 2013 dengan Tema “Hamil dan Menikah Dini Dilarang Ikut UN”.
- Selaku dosen penguji tesis yang diungkapkan beliau pada seminar tesis penulis tanggal 12 April 2013.
- Lihat Al-Qur’an Surah At- Tahriim Ayat 6 (Q.S. 66: 6).